Kamis, 27 Oktober 2016

Harga Gula Tak Semanis Rasanya

Gula merupakan salah satu bahan pokok yang pasti dimiliki dalam setiap rumah. Menjelang bulan suci Ramadan, kebutuhan pokok ini melonjak drastis. Seperti yang dilansir JPNN.com di Malang, Jawa Timur, harga gula pasir yang semula dijual Rp13.000 per kilogram naik menjadi Rp14.500 per kilogram.
Lain hal yang terjadi di Solo, Jawa Tengah, harga gula melambung drastis dari Rp12.000 per kilogram menjadi Rp15.000 per kilogram. Meski kenaikan harga gula yang terpaut jauh, para produsen makanan tetap berproduksi. Para produsen menyiasatinya dengan mengecilkan ukuran makanan guna menekan biaya produksi yang membengkak.
Tak hanya di Malang dan Solo, di Matraman, Jakarta Timur harga gula di warung-warung kelontong yang menjual gula pasir secara eceran menaikan harga hingga Rp3.000 per kilogramnya. Gula pasir putih yang semula dijual Rp12.000 per kilogram menjadi Rp15.000 per kilogram, dan gula pasir kuning dari Rp14.000 per kilogram menjadi Rp17.000 per kilogram.
Lonjakan harga gula menjelang Ramadan ini juga membuat salah satu usaha dodol rumahan di Garut, Jawa Barat, berhenti berproduksi untuk sementara. Harga gula pasir yang merangkak naik, membuat biaya produksi tak sebanding dengan harga jual dodol.
Terhentinya produksi dodol, langsung berpengaruh pada sejumlah warga yang terlibat dalam industri dodol rumahan ini. Seperti yang dikutip swasembada.net, sang pemilik mengaku seratus karyawannya sementara tidak bekerja. Padahal biasanya mereka mampu memproduksi dodol hingga 3,5 ton dalam sehari.
Selain itu, meningkatnya harga bahan-bahan pokok setiap tahunnya sudah menjadi hal yang lazim menjelang bulan Ramadan. Seperti yang dilansir oleh sindonews.com, pada 2015 harga gula mengalami kenaikan sebesar 10%. 
Presiden Joko Widodo pernah berharap, jika barang kebutuhan pokok tidak akan naik menjelang bulan Ramadan dan Idul Fitri. Namun, harapan dari presiden kita rasanya sulit untuk terpenuhi tahun ini melihat harga gula yang merangkak naik pada sejumlah daerah.
Dalam merealisasikan harapannya, Presiden Joko Widodo tentu harus dibantu Menteri Perdagangan yang telah ditunjuknya. Pada tahun 2015, surat instruksi yang dikeluarkan Menteri Perdagangan sebelumnya, Rachmat Gobel sempat menjadi penyebab utama turunnya harga lelang gula petani.
Surat Instruksi Menteri Perdagangan bernomor 490/M-DAG/SD/6/2015 tanggal 23 Juni 2015 tentang Harga Jual Gula dalam rangka Puasa dan Idul Fitri 2015. Surat tersebut ditujukan kepada produsen gula kristal putih badan usaha milik negara (BUMN) dan swasta, produsen gula rafinasi, Perum Bulog, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia, Asosiasi Pedagang Gula Indonesia dan Asosiasi Gula Indonesia (AGI).
Ada empat poin penting yang terdapat dalam surat tersebut. Pertama, meminta para stakeholder gula menjaga agar harga beli gula di tingkat konsumen akhir selama puasa hingga Lebaran (sejak H-25 sampai H+7) pada tingkat harga maksimal Rp11.000/kg, dan untuk keperluan operasi pasar sebesar Rp10.800/kg.
Kedua, meminta para produsen gula bertanggung jawab penuh terhadap pendistribusian gula, dengan melakukan pemantauan, mengawal dan mengawasi, mulai tingkat distributor hingga pengecer.
Ketiga, pemerintah lewat Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan memantau harga di lokasi-lokasi tertentu, untuk memastikan apakah produsen menaati instruksi.
Keempat, meminta mereka melaporkan kepada Kemendag melalui Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri terkait perkembangan realisasi penyaluran dan harga di tingkat distributor dan pengecer setiap pekan.
Ketua Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen menyatakan, surat yang dikeluarkan Mendag pada masa itu merupakan suatu kekeliruan pola pikir dalam menstabilkan harga komoditas gula kristal putih di dalam negeri.
Soemitro mengatakan bahwa jika ingin menurunkan harga gula, bukan dengan menekan harga gula petani. Yang diperlukan adalah bagaimana meningkatkan rendemen tebu. Jika tingkat rendemen tebu bisa dinaikkan, maka produksi gula petani akan meningkat dan harga juga bisa turun.
Seperti yang dikutip dari agroindonesia.co.id, ia menilai, peran pemerintah meningkatkan rendemen tebu sangat besar mengingat mayoritas pabrik gula yang ada di dalam negeri dimiliki oleh pemerintah. Data APTRI menyebutkan, dari 63 pabrik gula, sebanyak 53 unit di antaranya berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Tentu kita berharap kejadian seperti tahun lalu tidak terulang lagi. Kita berharap Menteri Perdagangan saat ini, Thomas Trikasih Lembong tak mengulangi kesalahan yang Mendag terdahulu lakukan. Apabila melonjaknya harga bahan pokok dapat dikendalikan, tidak menutup kemungkinan Indonesia dapat menjadi pengekspor tak lagi menjadi pengimpor.

3 komentar:

  1. Blognya sangat informatif banyak mafaat yang di dapat setelah membacanya. pesanyapun cukup jelas. namun saran saya untuk desain backgroun dan judul di bagian atas warnya di ubah karena background yang berwarna cerah dan penggunaan font berwarna putih agak susah untuk dibacanya. Trimakasihh :)

    BalasHapus
  2. Maaf maksud saya tulisan yang di atas yg tulisan Noda Kertas Putihnya agak sulit untuk dibaca.

    BalasHapus