Selasa, 20 September 2016

Memetik Inspirasi dari Dua Jurnalis Pemberani



Bicara mengenai dunia jurnalistik, saat ini menjadi suatu bahasan yang menarik untuk saya. Kenapa? Alasannya karena saya adalah mahasiswi di Prodi Jurnalistik pada salah satu perguruan tinggi negeri, yaitu Politeknik Negeri Jakarta.

 Awal mula saya memilih prodi tersebut lantaran tidak ada teman-teman lain yang memilih semasa saya berseragam  putih abu-abu. Namun, setelah masuk dan mempelajari mengenai dunia jurnalistik, saya merasa cukup tertarik untuk mendalaminya dan saya merasa mungkin di prodi inilah minat saya dapat saya temukan.

Sejak kecil saya memang sudah sering membaca buku, walaupun hanya sekadar komik ataupun novel. Akan tetapi, apabila ada suatu kejadian yang diberitakan oleh seluruh media terkadang saya merasa cukup tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pemberitaan yang santer dibicarakan media.

Seperti kasus kopi maut yang sedang santer diberitakan semua media atau kasus Gatot Brajamusti. Menurut saya, media yang diterima khalayak luas adalah televisi. Tak semua orang membaca koran atau mendengarkan radio, tetapi berbeda dengan televisi. Hampir semua masyarakat diberbagai lapisan memiliki televisi, dan penyampaian berita melalui televisi lebih mudah diserap.

Dalam memudahkan masyarakat untuk menyerap berita lewat televisi, tentunya tak terlepas dari jurnalis yang bertugas. Saya sempat mencari artikel-artikel terkait jurnalis televisi yang kisahnya menginspirasi, salah satunya adalah Meutya Hafid. Meutya Hafid merupakan jurnalis dari Indonesia yang disandera saat melakukan tugas untuk meliput pemilu pertama Irak setelah jatuhnya Saddam Hussain pada tahun 2005.

Namun, bukannya menyelesaikan tugas yang diberikan MetroTV saat itu, Meutya dan Budianto—kameramen, justru disandera di sebuah gua kecil di tengah gurun pasir antara Kota Ramadi dan Fallujah yang menjadi oleh-oleh kisah yang ia tuangkan dalam buku berjudul 168 Jam Dalam Sandera: Sebuah Memoar Seorang Jurnalis yang Disandera di Irak.

Menurut saya, saat ia diberikan tugas dari instansinya untuk meliput kejadian tersebut bisa saja ia menolak. Namun, lain hal dengan Meutya Hafid yang memiliki kepercayaan bahwa penugasan dengan itikad baik adalah amanah. Tidak semua orang mau menerima tugas untuk meliput keadaan genting dalam Perang Teluk.

Kisah menginspirasi dari jurnalis pemberani lainnya datang dari Mauluddin Anwar yang ditugaskan untuk meliput di jalur Gaza pada tahun 2009. Reporter SCTV ini bahkan sempat menyaksikan bom-bom Israel yang dijatuhkan tak jauh dari perbatasan Mesir-Gaza. Liputannya ini secara ekslusif ditayangkan oleh stasiun televisi SCTV.

Melihat keberanian para jurnalis dalam melaksanakan tugas yang diberikan, saya berandai jikalau saya menjadi seorang jurnalis, terlebih jurnalis televisi, saya ingin memiliki keberanian seperti dua tokoh jurnalis di atas. Saya juga ingin mempunyai kepercayaan seperti yang Meutya Hafid katakan. Alasannya karena menanamkan kepercayaan pada diri sendiri bahwa penugasan dengan itikad baik adalah amanah saya rasa cukup sulit bila saya berada di posisi Mbak Meutya.

Selain amanah, sebagai seorang jurnalis nantinya saya berandai bahwa saya juga harus mampu melihat sebuah kebenaran dalam ketidakadilan sekali pun. Seperti yang dikatakan Yus Ariyanto, “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia.” dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah: Memetik Inspirasi Perjalanan Karier 10 Jurnalis Terkemuka Indonesia.

3 komentar:

  1. Semoga semakin tertarik pada dunia jurnalistik dan kelak dapat seperti dua jurnalis itu

    BalasHapus
  2. Smoga tulisanmu sbgai doa & inspirasi untk mncapainya yaa

    BalasHapus