Gula
merupakan salah satu bahan pokok yang pasti dimiliki dalam setiap rumah.
Menjelang bulan suci Ramadan, kebutuhan pokok ini melonjak drastis. Seperti
yang dilansir JPNN.com di Malang,
Jawa Timur, harga gula pasir yang semula dijual Rp13.000 per kilogram naik
menjadi Rp14.500 per kilogram.
Lain
hal yang terjadi di Solo, Jawa Tengah, harga gula melambung drastis dari
Rp12.000 per kilogram menjadi Rp15.000 per kilogram. Meski kenaikan harga gula
yang terpaut jauh, para produsen makanan tetap berproduksi. Para produsen
menyiasatinya dengan mengecilkan ukuran makanan guna menekan biaya produksi
yang membengkak.
Tak
hanya di Malang dan Solo, di Matraman, Jakarta Timur harga gula di warung-warung
kelontong yang menjual gula pasir secara eceran menaikan harga hingga Rp3.000
per kilogramnya. Gula pasir putih yang semula dijual Rp12.000 per kilogram
menjadi Rp15.000 per kilogram, dan gula pasir kuning dari Rp14.000 per kilogram
menjadi Rp17.000 per kilogram.
Lonjakan
harga gula menjelang Ramadan ini juga membuat salah satu usaha dodol rumahan di
Garut, Jawa Barat, berhenti berproduksi untuk sementara. Harga gula pasir yang
merangkak naik, membuat biaya produksi tak sebanding dengan harga jual dodol.
Terhentinya
produksi dodol, langsung berpengaruh pada sejumlah warga yang terlibat dalam
industri dodol rumahan ini. Seperti yang dikutip swasembada.net, sang pemilik mengaku seratus karyawannya sementara
tidak bekerja. Padahal biasanya mereka mampu memproduksi dodol hingga 3,5 ton
dalam sehari.
Selain
itu, meningkatnya harga bahan-bahan pokok setiap tahunnya sudah menjadi hal
yang lazim menjelang bulan Ramadan. Seperti yang dilansir oleh sindonews.com, pada 2015 harga gula
mengalami kenaikan sebesar 10%.
Presiden
Joko Widodo pernah berharap, jika barang kebutuhan pokok tidak akan naik
menjelang bulan Ramadan dan Idul Fitri. Namun, harapan dari presiden kita
rasanya sulit untuk terpenuhi tahun ini melihat harga gula yang merangkak naik
pada sejumlah daerah.
Dalam
merealisasikan harapannya, Presiden Joko Widodo tentu harus dibantu Menteri
Perdagangan yang telah ditunjuknya. Pada tahun 2015, surat instruksi yang
dikeluarkan Menteri Perdagangan sebelumnya, Rachmat Gobel sempat menjadi
penyebab utama turunnya harga lelang gula petani.
Surat
Instruksi Menteri Perdagangan bernomor 490/M-DAG/SD/6/2015 tanggal 23 Juni 2015
tentang Harga Jual Gula dalam rangka Puasa dan Idul Fitri 2015. Surat tersebut
ditujukan kepada produsen gula kristal putih badan usaha milik negara (BUMN)
dan swasta, produsen gula rafinasi, Perum Bulog, PT Perusahaan Perdagangan
Indonesia, Asosiasi Pedagang Gula Indonesia dan Asosiasi Gula Indonesia (AGI).
Ada
empat poin penting yang terdapat dalam surat tersebut. Pertama, meminta para stakeholder
gula menjaga agar harga beli gula di tingkat konsumen akhir selama puasa hingga
Lebaran (sejak H-25 sampai H+7) pada tingkat harga maksimal Rp11.000/kg, dan
untuk keperluan operasi pasar sebesar Rp10.800/kg.
Kedua,
meminta para produsen gula bertanggung jawab penuh terhadap pendistribusian
gula, dengan melakukan pemantauan, mengawal dan mengawasi, mulai tingkat
distributor hingga pengecer.
Ketiga,
pemerintah lewat Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan memantau harga di
lokasi-lokasi tertentu, untuk memastikan apakah produsen menaati instruksi.
Keempat,
meminta mereka melaporkan kepada Kemendag melalui Direktorat Jenderal
Perdagangan Dalam Negeri terkait perkembangan realisasi penyaluran dan harga di
tingkat distributor dan pengecer setiap pekan.
Ketua
Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI)
Soemitro Samadikoen menyatakan, surat yang dikeluarkan Mendag pada masa itu
merupakan suatu kekeliruan pola pikir dalam menstabilkan harga komoditas gula
kristal putih di dalam negeri.
Soemitro
mengatakan bahwa jika ingin menurunkan harga gula, bukan dengan menekan harga
gula petani. Yang diperlukan adalah bagaimana meningkatkan rendemen tebu. Jika
tingkat rendemen tebu bisa dinaikkan, maka produksi gula petani akan meningkat
dan harga juga bisa turun.
Seperti
yang dikutip dari agroindonesia.co.id,
ia menilai, peran pemerintah meningkatkan rendemen tebu sangat besar mengingat
mayoritas pabrik gula yang ada di dalam negeri dimiliki oleh pemerintah. Data
APTRI menyebutkan, dari 63 pabrik gula, sebanyak 53 unit di antaranya berstatus
Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Tentu
kita berharap kejadian seperti tahun lalu tidak terulang lagi. Kita berharap
Menteri Perdagangan saat ini, Thomas
Trikasih Lembong tak
mengulangi kesalahan yang Mendag terdahulu lakukan. Apabila melonjaknya harga
bahan pokok dapat dikendalikan, tidak menutup kemungkinan Indonesia dapat
menjadi pengekspor tak lagi menjadi pengimpor.