Penculikan aktivis 1997/1998
adalah peristiwa penghilangan orang secara paksa atau penculikan terhadap para
aktivis pro-demokrasi yang terjadi menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum
(Pemilu) tahun 1997 dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun
1998.
Dalam
kasus ini terdapat 23 aktivis yang dihilangkan secara paksa. Sembilan
diantaranya dilepaskan kembali, satu ditemukan tewas, dan tiga belas lainnya
masih hilang hingga saat ini. Leonardus Gilang adalah satu aktivis yang
ditemukan tewas; Desmond Junaidi Mahesa, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang,
Faisol Reza, Rahardjo Walujo Djati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugiyanto, dan
Andi Arief adalah kesembilan aktivis yang dilepas kembali; dan Petrus Bima Anugrah,
Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al
Katiri, Ismail, Ucok Mudandar Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, serta
Abdun Nasser adalah ke-13 aktivis yang hilang hingga saat ini.
Kejadian
ini merupakan salah satu tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam
kasus ini nama calon presiden tahun 2014 Prabowo Subianto, tercacat sebagai
salah satu yang terlibat dalam penculikan tersebut. Belakangan diketahui bahwa
para pelaku penghilangan paksa dibentuk dalam sebuah tim bernama Tim Mawar dari
ABRI (sekarang TNI). Pada saat itu, tim ini di bawah komando Komandan Jendral
(Danjen) Kopassus, Prabowo Subianto. Menurut Tim Ad Hoc Komnas HAM, hanya
Panglima ABRI (Pangab) dan presiden yang dapat memberikan komando langsung
kepada Danjen Kopassus.
Paska
terjadinya kasus ini, telah dilakukan pemeriksaan dan penyelidikan oleh 3
lembaga di bawah negara, yaitu Dewan Kehormatan Perwira (DKP), Tim Gabungan
Pencari Fakta (TGPF), dan Tim Ad Hoc Komnas HAM.
Hasil
DKP merekomendasikan kepada Pangab agar Prabowo diberhentikan dari dinas aktif
militer. “Beberapa tindakan-tindakan (Prabowo) yang tidak pantas dilakukan
perwira tinggi. Itu semua direkomendasikan semua oleh DKP, salah satunya
penculikan," kata salah satu anggota DKP, Agum Gumelar, di Metro TV.
Sementara
itu, hasil rekomendasi TGPF menyebutkan Letjen Prabowo dan semua pihak harus
dibawa ke pengadilan militer atas kasus penculikan dan Tim Ad Hoc Komnas HAM
menyatakan bahwa terdapat 11 orang yang diduga melakukan tindak pidana
kejahatan; 10 orang yang patut dimintai pertanggung jawaban berdasarkan prinsip
komando; dan 6 orang yang patut dimintai pertanggung jawaban berdasarkan
prinsip Joint Criminal Enterprise.
Walaupun
Prabowo diberhentikan, tetapi ia tidak diadili di Mahkamah Militer. Hanya 11
orang anggota Tim Mawar yang diadili di Mahkamah Militer II dan mereka dijatuhi
hukuman 12-22 bulan penjara. Sebuah angka yang cukup kecil dibanding dengan
pelanggaran HAM yang telah mereka lakukan terhadap 23 aktivis.
Dalam
menentukan kebenaran atas keterkaitan atau tidak Prabowo dalam penghilangan
paksa, dibutuhkan dokumen DKP ABRI untuk mengusut tuntas masalah ini. Hingga
saat ini belum diketahui di mana keberadaan dokumen asli hasil rapat DKP ABRI
yang memuat rekomendasi pemecatan terhadap Prabowo Subianto pada tahun 1998
lalu. Padahal, dokumen tersebut sangat dibutuhkan dan penting untuk mengungkap
peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia di periode 1997 hingga 1998 lalu
terhadap beberapa aktivis.
Kepala
Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Feri Kusuma, mengatakan pihaknya
membutuhkan bukti keberadaan dokumen hasil DKP untuk mengungkap siapa pihak
yang bertanggung jawab dalam hilangnya 13 aktivis sejak 1997 dan 1998 silam.
Menurutnya, jika dokumen resmi hasil sidang DKP sudah didapatkan maka KontraS
akan lebih mudah melakukan advokasi dan proses penyelesaian kasus pelanggaran
HAM.
PS:
Tulisan ini tidak bertujuan untuk merusak atau mencemarkan nama baik
seseorang. Penulis hanya memberikan pendapat penulis di beberapa bagian
dalam tulisan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar