Kamis, 27 Oktober 2016

Penghilangan Paksa Aktivis Pro-Demokrasi '98

Penculikan aktivis 1997/1998 adalah peristiwa penghilangan orang secara paksa atau penculikan terhadap para aktivis pro-demokrasi yang terjadi menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1997 dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1998.
Dalam kasus ini terdapat 23 aktivis yang dihilangkan secara paksa. Sembilan diantaranya dilepaskan kembali, satu ditemukan tewas, dan tiga belas lainnya masih hilang hingga saat ini. Leonardus Gilang adalah satu aktivis yang ditemukan tewas; Desmond Junaidi Mahesa, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, Faisol Reza, Rahardjo Walujo Djati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugiyanto, dan Andi Arief adalah kesembilan aktivis yang dilepas kembali; dan Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Mudandar Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, serta Abdun Nasser adalah ke-13 aktivis yang hilang hingga saat ini.
Kejadian ini merupakan salah satu tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam kasus ini nama calon presiden tahun 2014 Prabowo Subianto, tercacat sebagai salah satu yang terlibat dalam penculikan tersebut. Belakangan diketahui bahwa para pelaku penghilangan paksa dibentuk dalam sebuah tim bernama Tim Mawar dari ABRI (sekarang TNI). Pada saat itu, tim ini di bawah komando Komandan Jendral (Danjen) Kopassus, Prabowo Subianto. Menurut Tim Ad Hoc Komnas HAM, hanya Panglima ABRI (Pangab) dan presiden yang dapat memberikan komando langsung kepada Danjen Kopassus.
Paska terjadinya kasus ini, telah dilakukan pemeriksaan dan penyelidikan oleh 3 lembaga di bawah negara, yaitu Dewan Kehormatan Perwira (DKP), Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), dan Tim Ad Hoc Komnas HAM.
Hasil DKP merekomendasikan kepada Pangab agar Prabowo diberhentikan dari dinas aktif militer. “Beberapa tindakan-tindakan (Prabowo) yang tidak pantas dilakukan perwira tinggi. Itu semua direkomendasikan semua oleh DKP, salah satunya penculikan," kata salah satu anggota DKP, Agum Gumelar, di Metro TV.
Sementara itu, hasil rekomendasi TGPF menyebutkan Letjen Prabowo dan semua pihak harus dibawa ke pengadilan militer atas kasus penculikan dan Tim Ad Hoc Komnas HAM menyatakan bahwa terdapat 11 orang yang diduga melakukan tindak pidana kejahatan; 10 orang yang patut dimintai pertanggung jawaban berdasarkan prinsip komando; dan 6 orang yang patut dimintai pertanggung jawaban berdasarkan prinsip Joint Criminal Enterprise.
Walaupun Prabowo diberhentikan, tetapi ia tidak diadili di Mahkamah Militer. Hanya 11 orang anggota Tim Mawar yang diadili di Mahkamah Militer II dan mereka dijatuhi hukuman 12-22 bulan penjara. Sebuah angka yang cukup kecil dibanding dengan pelanggaran HAM yang telah mereka lakukan terhadap 23 aktivis.
Dalam menentukan kebenaran atas keterkaitan atau tidak Prabowo dalam penghilangan paksa, dibutuhkan dokumen DKP ABRI untuk mengusut tuntas masalah ini. Hingga saat ini belum diketahui di mana keberadaan dokumen asli hasil rapat DKP ABRI yang memuat rekomendasi pemecatan terhadap Prabowo Subianto pada tahun 1998 lalu. Padahal, dokumen tersebut sangat dibutuhkan dan penting untuk mengungkap peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia di periode 1997 hingga 1998 lalu terhadap beberapa aktivis.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Feri Kusuma, mengatakan pihaknya membutuhkan bukti keberadaan dokumen hasil DKP untuk mengungkap siapa pihak yang bertanggung jawab dalam hilangnya 13 aktivis sejak 1997 dan 1998 silam. Menurutnya, jika dokumen resmi hasil sidang DKP sudah didapatkan maka KontraS akan lebih mudah melakukan advokasi dan proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM.



PS: Tulisan ini tidak bertujuan untuk merusak atau mencemarkan nama baik seseorang. Penulis hanya memberikan pendapat penulis di beberapa bagian dalam tulisan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar