Bicara
mengenai dunia jurnalistik, saat ini menjadi suatu bahasan yang menarik untuk
saya. Kenapa? Alasannya karena saya adalah mahasiswi di Prodi Jurnalistik pada
salah satu perguruan tinggi negeri, yaitu Politeknik Negeri Jakarta.
Awal
mula saya memilih prodi tersebut lantaran tidak ada teman-teman lain yang
memilih semasa saya berseragam putih
abu-abu. Namun, setelah masuk dan mempelajari mengenai dunia jurnalistik, saya
merasa cukup tertarik untuk mendalaminya dan saya merasa mungkin di prodi
inilah minat saya dapat saya temukan.
Sejak
kecil saya memang sudah sering membaca buku, walaupun hanya sekadar komik
ataupun novel. Akan tetapi, apabila ada suatu kejadian yang diberitakan oleh
seluruh media terkadang saya merasa cukup tertarik untuk mengetahui lebih
lanjut mengenai pemberitaan yang santer dibicarakan media.
Seperti
kasus kopi maut yang sedang santer diberitakan semua media atau kasus Gatot
Brajamusti. Menurut saya, media yang diterima khalayak luas adalah televisi.
Tak semua orang membaca koran atau mendengarkan radio, tetapi berbeda dengan
televisi. Hampir semua masyarakat diberbagai lapisan memiliki televisi, dan
penyampaian berita melalui televisi lebih mudah diserap.
Dalam
memudahkan masyarakat untuk menyerap berita lewat televisi, tentunya tak
terlepas dari jurnalis yang bertugas. Saya sempat mencari artikel-artikel
terkait jurnalis televisi yang kisahnya menginspirasi, salah satunya adalah
Meutya Hafid. Meutya Hafid merupakan jurnalis dari Indonesia yang disandera
saat melakukan tugas untuk meliput pemilu pertama Irak setelah jatuhnya Saddam
Hussain pada tahun 2005.
Namun,
bukannya menyelesaikan tugas yang diberikan MetroTV saat itu, Meutya dan
Budianto—kameramen, justru disandera di sebuah gua kecil di tengah gurun pasir antara Kota
Ramadi dan Fallujah yang menjadi oleh-oleh kisah yang ia tuangkan dalam buku
berjudul 168 Jam Dalam Sandera: Sebuah Memoar Seorang Jurnalis yang Disandera di
Irak.
Menurut
saya, saat ia diberikan tugas dari instansinya untuk meliput kejadian tersebut
bisa saja ia menolak. Namun, lain hal dengan Meutya Hafid yang memiliki
kepercayaan bahwa penugasan dengan itikad baik adalah amanah. Tidak semua orang
mau menerima tugas untuk meliput keadaan genting dalam Perang Teluk.
Kisah menginspirasi
dari jurnalis pemberani lainnya datang dari Mauluddin Anwar yang ditugaskan
untuk meliput di jalur Gaza pada tahun 2009. Reporter SCTV ini bahkan sempat
menyaksikan bom-bom Israel yang dijatuhkan tak jauh dari perbatasan Mesir-Gaza.
Liputannya ini secara ekslusif ditayangkan oleh stasiun televisi SCTV.
Melihat
keberanian para jurnalis dalam melaksanakan tugas yang diberikan, saya berandai
jikalau saya menjadi seorang jurnalis, terlebih jurnalis televisi, saya ingin
memiliki keberanian seperti dua tokoh jurnalis di atas. Saya juga ingin
mempunyai kepercayaan seperti yang Meutya Hafid katakan. Alasannya karena
menanamkan kepercayaan pada diri sendiri bahwa penugasan dengan itikad baik
adalah amanah saya rasa cukup sulit bila saya berada di posisi Mbak Meutya.
Selain amanah,
sebagai seorang jurnalis nantinya saya berandai bahwa saya juga harus mampu
melihat sebuah kebenaran dalam ketidakadilan sekali pun. Seperti yang dikatakan
Yus Ariyanto, “Jurnalis,
bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang
kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia.” dalam
bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah: Memetik Inspirasi Perjalanan Karier
10 Jurnalis Terkemuka Indonesia.